Jumat, 13 Mei 2011

PLURALITAS DAN PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah salah satu negara yang paling pluralis di dunia. Indonesia memiliki ribuan pulau dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Serta dengan latar belakang yang paling beraneka ragam, yaitu dengan sekitar 400 kelompok etnis dan bahasa yang ada dibawah naungannya. Indonesia juga sebuah negara dengan kebudayaan yang sangat beragam.

Kata “pluralis” berasal dari bahasa Latin “plures” yang berarti “beberapa” dengan implilaksi perbedaan. Secara filosofis, pluralitas dibangun dari prinsip pluralisme, yaitu sikap, pemahaman dam kesadaran terhadap kenyataan adnya kemajemukan, keragaman sebagai sebuah keniscayaan. Sekaligus ikut secara aktif memberikan makna signifikansinya dalam konteks pembinaan dan perwujudan kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang manusiawi dan bermartabat.

Pluralisme adalah pandangan filosofis yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, tetapi menerima adanya keragaman. Pluralisme meliputi bidang kultural, poitik dan agama. Terhadap pengertian yang bias dengan relativisme ini, tentu saja orang yang beragama tidak dapat menerima sepenuhnya. Oleh karena itu pemahaman yang berbeda terhadap ide pluralisme akan selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh agama.

Nurcholis Madjid memaknai : “pluralisme” sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Alwi Shihab memberikan bebeapa pengertian dan catatan mengenai pluralisme sebagai berikut : Pertama, pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan adanya kemajemukan, tetapi juga keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari seseorang baik ditempat kerja, di kampus, maupun di tempat berbelanja. Akan tetapi dengan melihat pengertian yang petama ini, orang tersebut baru dapat dikatakan menyandang sifat “pluralis” apabila dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, dengan pluralisme tiap pemeluk agama tidak hanya dituntut untuk mengakui keberadaan hak agama Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam lain, tetapi ikut terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas, yang di dalamnya berbagai ragam agama, ras, dan bangsa, hidup secara berdampingan di sebuah lokasi.

Namun demikian tidak terjadi interaksi positif antar penduduk lokasi tersebut, khususnya di bidang agama. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Implikasi dari paham relativisme agama adalah bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar dan semua agama adalah sama. Ke-empat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu dari berbagai ajaran agama.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Pluralisme dan Pluralitas
Pluralisme memiliki pengertian “Majemuk” asal kata dari plural “lebih dari satu atau dapat di artikan plural itu adalah jamak”. Secara istilah kita bisa merujuk pada tokoh muslim Nusantara Cak Nur menurut beliau pluralisme adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana.
Pluralisme dalam bahasa Inggris menurut Anis Malik Thoha (2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut. Menurut asal katanya Pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism.
Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi [eng] pluralism adalah : “In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation.” Atau dalam bahasa Indonesia : “Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan).”
Pluralitas adalah keragaman dalam sebuah wujud persatuan. keragaman,keunikan, dan parsial itu merupakan realitas yang tak terbantahkan. Secara sosiologis, manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yag saling berbeda dan mengikatkan dirinya antara satu dengan lainnya. semuanya menunjukan adanya perbedaan, keragaman dan keunikan, namun tetap dalam persatuan. Perbedaan-perbedaan individu melebur menjadi satu kesatuan keluarga, keragaman keluarga melebur kedalam satu ikatan sosial, ke anekaan suku-suku terangkum dalam satu bangsa dan masyarakat dunia. keseluruhan persialitas itu adalah bagian dari pluralitas, pluralitas itu adalah wujud terbasar dari bagian-bagian persialitas tersebut.
B. Kontroversi Pluralisme Agama
a) Pro pluralisme
Para cendikiawan muslim Indonesia telah terlibat dalam sejumlah diskursus tentang Islam dan pluralisme. Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), yang berarti cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusian universal, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa cita-cita keislaman sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu pokok ajaran Islam. Oleh karena itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat. Dengan kata lain diperlukan sistem yang menguntungkan semua pihak, termasuk mereka yang non-muslim.
Hal ini papar Nurcholis sejalan dengan watak inklusif Islam Indonesia. Menurutnya, pandangan ini telah memperolah dukungan dalam sejarah awal Islam. Nurcholis menyadari bahwa masarakat Indonsesia sangat pluralistik dari segi entnis, adat-istiadat, dan agama. Dari segi agama, selain Islam, realitas menunjukan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembanag subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Oleh sebab itu masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Nurcholis optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan.
Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan aspirasi terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan (comon platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragamaan, aliran politik dan keagaman, sejak zaman pra kemerdekaan sampai sesudahnya. Nurcholis melihat ideologi negara Pancasilalah yang telah member kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralism keagamaan.
Sementara itu Abdurrahman Wahid juga melihat hubungan antara Islam dengan pluralisme dalam konteks manifestasi universalisme dalam kosmopolitanisme ajaran Islam. Menurutnya, Islam ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme. Adalah lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar tersebut adalah :
(1) Keselamatan Fisik warganegara
(2) keselamatan keyakinan agama masing-masing,
(3) Keselamatan keluarga dan keturunan,
(4) Keselamatan harta benda dan milik pribadi, dan
(5) Keselamatan profesi.
Dalam konteks masayarakat Indonesia yang pluralistik ini, Abdurrahman mengharapkan agar cita-cita untuk menjadikan Islam dan umat Islam sebagai “pemberi warna tunggal” bagi kehidupan masyarakat disamping. Ia juga menolak jika Islam djadikan “alternatif” terhadap kesadaran berbangsa yang telah begitu kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat Islam sebaiknya menempatkan ciri sebagai faktor komplementer, dan bukan mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian format perjuangan Islam pada akhirnya partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan. Tujuan akhinya adalah mengfungsikan Islam sebagai kekuatan integrative dalam kehidupan berbangsa.
b) Kontra pluralis
Berbeda dengan dua tokoh di atas, yang melihat pergumulan Islam dengan pluralisme dalam perspekktif substansi ajaran Islam, Kuntowijoyo lebih mengaitkannya dengan setting sosial budaya. Bagi Kunto peradaban Islam itu sendiri merupakan sistem yang terbuka. Artinya peradaban Islam menjadi subur di tengah pluralis budaya dan peradaban dunia. Meskipun demikian peradaban dan kebudayaan Islam juga bersifat orsinil dan otentik, yang mempunyai ciri dan kepribadian tersendiri. Kunto berpendapat bahwa umat Islam dapat menerima aspek- aspek positif dari ideologi atau paham apapun, tetapi pada saat yang sama, perlu didasari bahwa Islam itu otentik, memiliki kepribadian yang utuh dan sistem tersendiri. Dalam konsteks Indonesia, Kunto berpendapat bahwa umat Islam, terutama cendikiawannya, harus dapat memadukan kepentingan nasioanal dan kepentinagan Islam.
Kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, Kunto menawarkan dua persoalan untuk dicermati, yaitu solidaritas antar agama dan pluralisme positif. Mengenai solidaritas, ada dua tahap yang menentukan kemajuan dalam hubungan antar agama, yaitu dari kerukunan menuju kerja sama. Kemajuan itu adalaah dari inward looking (meliahat ke dalam) ke outward looking (melihat keluar). Setelah adanya rangkaian “kesalahpahaman” di antara pemeluk-pemeluk agama di Indonesia, pada waktu menteri agama dijabat oleh Mukti Ali (1970). Istilah kerukunan antar umat beragama mulai digulirkan. Sejak saat itu terjadi perdebaatan mengenai makna dan praktek toleransi, apakah toleransi itu dikenakan kepada mayoritas atau minoritas. Kesimpulan di atas kertas selalu kedua-duanya, tatapi di lapangan, kerukunan tidak pernah terjadi.
Ketakutan akan Kristenisasi di daerah Islam dan Isalmiasasi di daerah kristen saling menghantui kedua belah pihak, dan ini tidak menguntungan bagi upaya menciptakan kerukunan. Pada tahun 1970-1990 kerukunan tidak pernah terjadi dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal ini terjadi, menurut Kunto, karena masing-masing agama melihat ke dalam (inward lokking). Solidaritas yag betul-betul terjadi pada tahun 1990-an, dengan tema baru, bukan lagi dialog antar agama, tetapi out ward looking yaitu memikirkan bersama bangsa ini. Itulah yang terjadi dalam forum-forum cendekiawan umat beragama. Pluralisme positif adalah kaidah bersama yang ditawarkan Kunto dalam hubungan antar agama.
Kaidah ini diperlukan agar tidak terjadi hubungan berdasarkan prasangka. Kaidahnya adalah bahwa (1) selain agama sendiri ada agama lain yang harus dihormati (pluralisme), dan (2) masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya. Pluralisme menjadi negative apabila orang mengumpamakan agama seperti baju, yang dapat diganti-ganti semaunya. Pluralisme positiflah yang dipraktekkan Rasul di Madinah. Senada dengan Kuntowijoyo, Alwi Sihab menyatakan bahwa apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka harus ada satu syarat, yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berintraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar, dan menghormati mitra dialognya, tetapi juga harus commited terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap demikianlah kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika.
C. Pluralisme Agama Dalam Islam
Makna pluralisme kini lebih menyempit pada pluralism agama, untuk itu penulis ingin memaparkan pandangan Islam terhadap pluralisme agama.sebuah organisasi swadaya masyarakat yang fatwanya memberikan kontribusnyai cukup memukau dalam beberapa permasalhan Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah menyatakan bahwa paham Pluralisme Agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini.
MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme Agama, yang juga Mustasyar NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa Pluralisme Agama memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agama¬ agama lain.
D. Penutup
Akhirnya kedewasaanlah yang memimpin semua ini agar apa yang di cita-citakan bersama dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih baik lagi, dapat terwujud dengan sempurna sesuai pancasila dan kontrak social yang telah di tentukan baersama.


DAFTAR PUSTAKA

Agil Husain Al Munawar, Said.Fikih Hubungan Antar Agama.2005. PT Ciputat Press:Ciputat.

Ismail, Faisal.Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah.1999.PT Tiara Wacana Yogya: Kopen-Banteng.

Knitter, Paul F.Satu Bumi Banyak Agama.1995. PT BPK Gunung Mulia. Jakarta.

http://fianroger.wordpress.com/2010/02/13/pluralis-dan-wacana-pluralisme-indonesia/

makalah psi belajar pai

Teori Psikologi Belajar Behavioristik

1. Tokoh : Burrhus Federic Skinner (Amerika, 1904-1990).
Beliau merupakan tokoh behavioris yang dikenal dengan pendekatan model instruksi langsung (directed instruction) dan menyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditionong. Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara terarah dan dikontrol guru melalui pengulanggan (drill) dan latihan (exercise).

2. Manajemen Kelas
Menurutnya manajemen kelas adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku (behavior modificatio) antara lain dengan proses penguatan (reinforcement) yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat.

Pengkondisian operan (Operant conditioning) adalah suatu proses penguatan perilaku operan (penguatan positif dan negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. Perilaku operan adalah perilaku yang dipancarkan secara spontan dan bebas berbeda dengan perilaku responden dalam pengkondisian Pavlov yang muncul karena adanaya stimulus tertentu.

Contoh perilaku operan : anak kecil tersenyum mendapat permen oleh orang dewasa yang gemas melihatnya, maka anak tersebut cenderung mengulangi perbuatannya yang semula tidak disengaja atau tanpa maksud tersebut. Tersenyum adalah perilaku operan dan permen adalah penguat positifnya.

3. Eksperimen Skinner
Dalam laboratorium, Skinner memasukan tikus yang telah dilaparkan, dalam kotak yang disebut “Skinner Box”, yang dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri lisrtik.

Karena dorongan lapar (hunger drive) tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana-kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuia peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.
Berdasarkan hasil percobaannya pada tikus dan burung merpati, Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang berbentuk melalui ikatan stimulus-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Penguatan ini oleh Skinner dibagi menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif.

Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang. Bentuk-brntuk pengutan positif ini adalah berupa hadiah (permen, kado, cokelat, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau penghargaan (nilai A, juara 1 dsb).

Bentuk-bentuk penguatan negatif antara lain ; menunda/tidak memberi penghargaan, memberi tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening berkerut, muka kecewa, dll).

4. Prinsip belajar Skinner antara lain :
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar diberi penguat.
2. Proses belajar harus diikuti irama dari yang belajar.
3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
5. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman, Untuk ini lingkunhan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknyahadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variabel rasio reinforcer.
7. Dalam pembelajaran, digunakan shapping.

5. Kekeliruan dalam penerapan teori Skinner
1. Penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa, menurutnya hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahn. Penggunaaan hukuman verbal maupun fisik seperti : kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.

2. Dalam reinforcement positif juga terjadi di dalam situasi pendidikan seperti pengunaan rangking juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran. Sebaiknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampuan yang diperlihatkan sehingga dalam suatu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang ditunjukan para siswa. Misalnya ; penghargaan di bidang Bahasa, Matematika, Fisika, Menyanyi, Menari atau Olah raga.

6. Aplikasi Teori Behavioristik Terhadap Pembelajaran Siswa

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat yang mendasari yaitu :
a. Mementingkan pengaruh lingkungan.
b. Mementingkan bagian-bagian (elementalistik).
c. Mementingkan peranan reaksi.
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon.
e. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan.
g. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.


7. Konsekuensi dari teori ini adalah :
a. para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru.
b. Guru tidak banyak ceramah dengan instruksi singkat diikuti contoh-contoh, baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi.
c. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
d. Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu.
e. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati.
f. Kesalahan harus segera diperbaiki.
g. Pengulanggan dan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
h. hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalh terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan.
i. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif.
j. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.

8. Kritik terhadap teori behavioristik :

Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyaratan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.

9. Metode Behavioristik ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti ; kecepatan, spontniyas, kelenturan, refleks, daya tahan dan sebagainya. Contohnya : percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang. olahraga, dan sebagainya. Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperi diberi permen atau pujian.

10. Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan :
a. terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, otoriter, komunikasi berlangung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.
b. Murid dianggap pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.
c. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar efektif.
d. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.